Sekedar berbagi pengalaman, sewaktu saya masih bersekolah di SMA dulu, alhamdulillah saya adalah siswa yang cukup punya prestasi, pelajaran eksak seperti matematika, fisika dan kimia adalah pelajaran yang saya sukai, jika sedang on, bisa semalam suntuk belajar nggak tau kenapa eh ternyata setelah tes STIFIn hasilnya Thinking introvert, panteess!! Hehe.. tapi yang ingin saya sampaikan pada tulisan kali ini adalah topik diatas – dilema tes kecerdasan, begini ceritanya.
Saya punya rekan satu kelas yang bernama sebut saja MN, ia adalah siswi dengan prestasi terbaik dikelas kami, rangking 1 hmm.. doi juaranya, selain itu anaknya insya Allah solehah. Tapi menurut saya keanehan mulai terjadi saat kami mengikuti psikotes, kita tahu hasil psikotes diantaranya nilai IQ. IQ MN tersebut 110 dan hasil psikotes saya IQ 125 lhoo.. dan yang lebih mengagetkan lagi kami punya teman sekelas juga yang kerjanya ceplas ceplos, tukang ribut dan jauh dari kata rajin belajar apalagi rangking 10 besar inisialnya DM ternyata IQ nya 140 Woowww!! Apa yang salah ya? Bukankah IQ menjadi tolak ukur seseorang dikatakan pintar, tentu saja blm terjawab karena saat itu kami belum mengenal yang namanya tes STIFIn.
Waktu berlalu, kami semua lulus SMA, lalu kuliah dan berkarir, hari ini rekan kami DM punya pekerjaan yang baik di sebuah perusahaan BUMN dan sudah berkeluarga, alhamdulillah.. sedangkan MN hingga hari ini saya belum tahu kabarnya, semoga ia juga punya karir yang cemerlang ya, kami doakan. Latar belakang saya menulis artikel ini pun karena saya baru tahu bahwa ternyata IQ istri saya @d_uwi sewaktu SD nilainya 140 dan di tes ulang ketika SMP kelas 1 ternyata hasilnya 133 wakwawww..
Dalam pandangan ilmu STIFIn, ada 3 dimensi otak manusia, yaitu Kapasitas Otak (Hardware / IQ), Sistem Operasi Otak (Sofware / simpul saraf) dan Budaya Otak (Terapan / diprogram). Tes IQ tidak bisa menjadi rujukan cerdas atau tidaknya seseorang karena hasil IQ mengukur kecerdasan secara umum, selain itu metode tes yang menggunakan kuisioner memiliki kelemahan – kelemahan misalnya saja ada intervensi psikologis (tergantung mood). Poinnya adalah, setiap anak itu cerdas hanya saja cerdasnya berbeda – beda, walaupun modal kita sama 1 triliun sel saraf (neuron) yang membuat seseorang cerdas atau tidaknya bukan soal besar kepalanya (volume otak) namun koneksi diantara sel saraf dalam kepala kita.
Yang menarik dari tes STIFIn adalah, ia memetakan, bukan mengukur seperti tes IQ karena hasil akhir pengukuran akan memperoleh nilai / kategori: superior, rata – rata dan inferior, sebaliknya tes STIFIn memetakan jenis kecerdasan kita, apakah jenis sensing (memori), thinking (logika), intuiting (kreatifitas), feeling (emosi) dan instinct (naluriah) yang dalam bahasa STIFIn dikenal dengan nama sistem operasi otak. Tidak ada yang paling pintar atau bodoh karena beda orang beda kecerdasan, masing – masing punya kelebihan dan kekurangan, tugas kita adalah mensyukuri kelebihan dengan mengoptimalkan apa yang telah Tuhan anugrahkan kepada kita dan kelemahan dibiarkan terdidik secara alamiah. Simak postingan kami sebelumnya “Mengasah Kelebihan atau memperbaiki kekurangan”
mirip. saya juga thinking introvert. padahal kesehariaannya kayak intuiting.. dan pengalaman Sekolahnya miriip euyy
BalasHapus