Powered By Blogger

Rabu, 11 Maret 2015

STIFIn Jay Tsunami, Genetika Manusia dikalibrasi dengan Al-Qur'an, yang sebelumnya diketahui Makaanat lewat TES STIFIn


Arti Makaanat Oleh Farid Poniman adalah Ujung Kemampuan Terbaik Manusia

Al Quran; Pengkalibrasi Mikrokosmos dan Makrokosmos

oleh Ust Uus Mauluddin



Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda tanda (kebesaran) kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tidak cukupkah ( bagi kamu ) bahwa Robb-mu menjadi saksi atas segala sesuatu? (TQS Fushshilat (41):53 ).

Sebelum memperhatikan makrokosmos marilah kita memperhatikan mikrokosmos yang dengannya semoga kita semakin kenal dan dekat dengan robb- kita sebagaimana dalam perkataan Imam Al Ghozali man ‘arofa nafsahu ‘arofa robbahu !
Manusia adalah makhluk yang sangat sempurna ( fii ahsani taqwiim ), kesempurnaan itu dimulai dari yang terlihat oleh mata yaitu jasad dan yang tak nampak dari penglihatan biasa salah satunya adalah Gen. Gen adalah anugrah dari Alloh subhanhu wata’ala yang luar biasa yang berada dalam inti sel, yang mana dalam tubuh manusia terdapat triliunan sel ( rata rata orang dewasa memiliki kurang lebih 70 triliun sel ), maka ada triliunan gen yang terbagi dalam miliaran jenis gen dalam tubuh kita. Hal ini pula yang menjadikan kapasitas memori pada orang normal dapat mencapai 280 kuintibiliun. Sungguh hal yang luar biasa ketika kita memahami bahwa tubuh kita dikendalikan oleh gen yang sangat kecil ( sel memiliki diameter rata rata 10 mikron – satu micron 10­­-6 m ).

Setiap sel yang ada dalam tubuh kita memiliki jumlah gen yang sama, gen pada kulit sama dengan yang ada pada rambut, begitu pula sel yang ada di usus, jantung , paru paru dan sebagainya akan tetapi luarbiasanya walaupun memiliki gen yang sama gen gen kuku tetap mengendalikan kuku tidak pernah berpindah ke jantung, usus dan yang lainnya mereka terus ON pada garis edarnya ( kullun fii falakin yasbahuun ) dan tidak pernah OFF dan tidak pernah melakukan pemberontakan. Seandainya mereka berontak maka akan terjadi kekacauan dalam tubuh kita, subhanalloh, maha suci Alloh atas segala makhluknya.  

Semua organ dalam tubuh manusia dibangun dengan sebuah perencanaan dan mekanisme yang sempurna yang digariskan gen. menurut para ahli peta gen dalam tubuh manusia adalah sebagai berikut;
Bagian Tubuh
Jumlah Gen
Otak
29.930 gen
Kulit
2.559  gen
Mata
1.794  gen
Kelenjar ludah
183 gen
Jantung
6.216  gen
Dada
4.001  gen
Paru paru
11.581  gen
Hati
2.309  gen
Usus
3.838  gen
Otot kerangka
1.911  gen
Sel darah
22.902  gen
  
 
Penyusun Genetik Manusia
 
Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa gen yang berada dalam otak manusia melebihi yang lainnya dan ini menunjukkan bahwa organ dominan dalam tubuh manusia adalah otak, sehingga penulis berkesimpulan bahwa kajian tentang otak merupakan hal yang sangat unik dan mengkalibrasinya merupakan hal mutlak sehingga dengan baiknya ia secara otomatis akan memberikan dampak yang luar biasa ( Daya Jalar ) kepada seluruh organ tubuh yang lain dan penulis menggunakan kerangka teori STIFIn Personality dalam menyingkap hal ini, adapun urutan huruf dalam gen menentukan struktur seorang manusia hingga bagian terkecil, selain seperti tinggi badan, mata, rambut, dan warna kulit, gen juga mengandung rancangan 206 tulang, 600 otot, jaringan 10.000 otot pendengaran, jaringan 2 juta saraf penglihatan, 100 miliar sel saraf, dan kurang lebih 70 triliun sel dalam tubuh, selain itu gen mampu mengatur semua fenomena biologis dalam tubuh dan mengatur hormone apa saja yang harus dihasilkan oleh kelenjar tertentu, dan juga mengatur enzim apa yang harus diproduksi untuk keperluan kimia yang dibutuhkan tubuh. Subhanalloh wal hamdulillal walaa ilaha illaloh wallohu  akbar.
Gen dibentuk oleh untai ganda DNA, karenanya pembahasan tentang gen harus kita mulai dengan memahami DNA terlebih dahulu, DNA terbentuk dari dua rantai nukleotida sangat panjang yang mengandung empat macam basa yaitu adenin ( A ), guanin ( G ), timin ( T ) dan sitosin ( S ), rantai rantai tersebut disatukan oleh ikatan hydrogen antar basa, dimana adenine berikatan dengan timin ( A – T ) dan guanine dengan sitosin ( G – S ).

Ada beberapa proses yang terjadi dalam DNA yaitu transkripsi dan translasi, transkipsi adalah proses pembentukan RNA dari untai ganda DNA, sedangkan translasi adalah pembentukan rantai polipeptida protein dengan dasar cetakan yang ada pada RNA dari hasil proses transkripsi diatas. 

Pada saat transkipsi kedua, untai ganda DNA akan terpisah, salah satu dari kedua rantai tersebut akan berperan sebagai pola pembentukan RNA, sedangkan untai yang lain akan non aktif. Setelah terpisah, bakal RNA akan membentuk basa basa sesuai dengan pasangannya yang diantara fungsi fungsi RNA adalah sebagai messenger dan transfer, bedanya bila dalam DNA adenine berikatan dengan timin maka dalam RNA adenine berikatan dengan urasil.
Walaupun susunan dasar RNA sama dengan DNA, namun antara keduanya ada 3 perbedaan;
1.     Gula deoksiribosa tidak dipakai dalam RNA tetapi menggunakan jenis gula lain yang sedikit berbeda
2.     Timin digantikan oleh urasil jadi RNA ada empat basa yakni adenine ( A ), urasil ( U ), guanine ( G ), sitosin ( S )
3.     Bila DNA terdiri atas sepasang untai maka RNA hanya terdiri atas satu untai.
Jenis jenis RNA inilah yang nantinya sangat berperan dalam sintesis proteinyang merupakan bahan dasar hormone dan enzim yang denganya reaksi reaksi kimiawi dalam tubuh dapat berlangsung sebagaimana mestinya demi menopang kehidupan biologis manusia. Subhanalloh
Apakah gen biasa diubah? Ada sebuah anekdot yang pernah penulis dengar dimana diceritakan ada seorang Profesor yang sangat pandai tapi berwajah kurang bagus dia berniat memperbaiki keturunan agar kelak keturunannya jenius dan berwajah menawan, maka dia cari wanita yang sangat cantik menawan akan tetapi dia secara kafasitas otak dan kepintaran sangat jauh dari harapan, maka menikahlah mereka berdua wal hasil jauh dari harapan anak yang dilahirkan tidak rupawan dan bodoh, astaghfirulloh wa naudzhu billah, pertanyaannya apakah hal itu mungkin terjadi? Sangat mungkin hal itu terjadi karen Hukum ON – OFF yang telah kita bahas, sekarang kita berharap bagaimana caranya agar meng -ON –kan gen gen positif dan meng-OFF-kan gen gen  Negatif ?
Beberapa puluh tahun yang lalu  para ilmuwan meyakini bahwa gen gen yang dimiliki tumbuhan, binatang dan manusia memiliki prinsip kerja  yag sama. Para ahli mengatakan 99 DNA manusia dengan makhluk yang lainnya sama yang membedakan kurang dari 1 % dan itulah yang disebut dengan snips.

Mudahnya begini, kenapa manusia sangat membutuhkan kalibrasi sementara makhluk yang lain seolah tidak? maka jawabanya adalah karena manusia memiliki otak ( pikiran ), dan suasana berfikir inilah yang mempengaruhi kondisi fisik dan psikis, hal ini sangat wajar sebagaimana kita ketahui bahwa gen yang paling dominan pada manusia adalah yang ada di otak yang berjumlah  29.930 gen sehingga ia sangat wajar jika menjadi komandan/driver nya.
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda; sesungguhnya dalam tubuh manusia ada mudghoh, jika ia baik maka baiklah seluruh anggota tubuhnya dan jika ia buruk maka buruklah semua anggota tubuhnya, dialah hati ( HR……..)

Hati itu bukanlah jantung ! penulis semakin yakin ketika memperhatikan apa yang dikatakan oleh Abu Laila dalam mushonnaf Ibnu Abi Syaibah ( vol 1, hal 321 no. 3670 ) ia berkata; ketika engkau membaca Al Quran, dengarkanlah oleh telingamu karena hati berada ditengah antara lisan dan telinga. Pernyataan ini unik karena seolah beliau menegaskan bahwa hati itu merepresentasikan seluruh belahan otak, sementara belahan belahannya merupakan bala tentara yang siap beroprasi kapanpun.

Sebuah penelitian melakukan ekperimen terhadap orang yang baru saja meninggal kemudian dipisahkan antara kepala dan jasadnya kemudian dipertontonkan kepada kepala yang sudah terpisah itu, film yang sangat mengharukan dan ternyata kepala yang sudah dipisahkan dari jasadnya itu pun mennagis, hal ini mengundang sebuah kesimpulan, berarti organ yang berfungsi untuk mengamati, merasa dan bahkan menyimpulkan sehingga kesimpulan akhirnya adalah menangis bukanlah jantung akan tetapi otak. Sementara jantung hanyalh berfungsi secara ragawi sebagai sirkulator darah dalam tubuh, maka pantas dalam Al Quran, Alloh subhanahu wata’ala ketika menyiknya seseorang kelak di hari akhir yang ditarik itu bukanlah jantungnya akan tetapi pusat kendali yang berfungsi memutuskan, Setelah melakukan penelitian, akhirnya para ilmuwan menemukan sebuah kesimpulan; Bahwa, otak bagian depan yang terletak pada ubun-ubun itulah yang paling bertanggung jawab karena ia memiliki daya eksitasi yang sangat rendah bahkan terhadap kebenaran sekalipun.

Kesimpulan ini, sebenarnya tergolong sangat telat jika dibandingkan dengan apa yang sudah diisyaratkan oleh Allah swt. dalam firman-Nya dalam Alquran. Bagian otak tersebut disebut Alquran dengan nama ‘nashiyah’ atau ubun-ubun.

Yang mengagumkan adalah bahwa Al-Quran sejak berabad-abad yang lalu telah berbicara tentang fungsi ubun-ubun ini ketika membicarakan Abu Jahl:
Allah swt. berfirman dalam Surah Al-‘Alaq ayat 15 dan 16.
 “Ketahuilah, sungguh jika Dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.
Al-Quran memberikan sifat كاذبة خاطئة (mendustakan lagi durhaka). Kenyataan seperti inilah yang ditemukan para ilmuwan pada masa sekarang ini dengan menggunakan pemindaian resonansi magnetik.

Maha Suci Allah Yang telah menyatakan fakta ini yang menunjukkan kemukjizatan Al-Quran yang baru ditemukan pada masa sekarang ini.
Khotiah dan kadzibah inilah yng saya maksud dengan meng-OFF-kan hal hal positif dan meng-ON-kan hal hal negatif sehingga dengannya kita bisa memformulasikan sebagai berikut;
  
KALIBRASI: Scanning - Reprogramming - Installing ==>
==> Kualitas hidup


Proses kalibrasi Al Quran  dengan installing dan scanning menjadikan pikiran/alqolbu semakin positif ( Erbe Sentanu dalam Quantum Ikhlas memetakannya dengan; positif thinking, positif feeling dan positif acting ) sehingga dengannya kualitas hidup semakin meningkat.

Orang orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Alloh, ingatlah hanya dengan mengingat Alloh hati menjadi tentram. ( TQS Ar ro’du (13):28 ).

Sebagai tambahan wawasan, pada tahun 2003, Kazuo Murakami seorang ahli genetika Jepang, Dr. Lee S. Berg dan lain lain,  melakukan sebuah penelitian dan hasilnya menyatakan bahwa untuk mengubah ( meng-ON atau meng-OFF-kan ) gen hanya dengan menjaga suasana hati yang diliputi keyakinan, kegembiraan, optimism, da berfikir secara positif.

Selain para ahli genetika para psikologpun meyakini bahwa fenomena biologis bukanlah benda mati yang sama sekali tidak dapat diubah, penelitian Pavlop mendukung pendapat ini, Pavlop menggunakan anjing untuk membuktikannya, sebelum anjing diberi daging, dibunyikan bel olehnya. Hal itu dilakukan oleh Pavlop berulang ulang sehingga suatu saat setiap dibunyikan bel, anjing itu akan mengeluarkan air liur walaupun tanpa diberi daging. Hal ini menunjukan teori rangsangan (Eksitasi - Inhibisi ) terhadap sesuatu yang memetakan aktifitas biologis masing masing.

Dan Shiego Nozawa seorang ilmuwan Jepang mengatakan; pada manusia keadaan fikiran adalah lingkungan mereka, keadaan bahagia atau sehat berasal dari pikiran, orang orang mungkin menganggap bahwa sebuah tipe lingkungan tertentu adalah ideal, namun sesungguhnya setiap lingkungan yang dianggap baik oleh seseorang maka akan menjadi bermanfaat, tidak ada lingkungan yang secara mutlak baik atau buruk. Pendapat ini bias kita simpulkan bahwa baik buruknya lingkungan tergantung bagaimana pikiran kita menilainya.
Adapun kajian tentang otak penulis tidak akan membahasnya disini hanyasannya penulis menyarankan untuk mengkaji langsung kepada buku STIFIn Personality yang ditulis oleh Farid Poniman dan kurang lebih kesimpulannya adalah sebagai berikut;

PERBANDINGAN KAJIAN
DNA
Pavlop
C.G. Jung
Ned Herman
Paul Maclean
Gol Darah
STIFIn
Adenin
Eksitasi tinggi
Inhibisi rendah
Sensing
Limbik kiri
Otak Mamalia
AB
Sensing
Guanin
Eksitasi rendah
Inhibisi tinggi
Thinking
Neokorteks Kiri
Otak Insani
A
Thinking
Timin
Eksitasi rendah
Inhibisi rendah
Intuition
Neokorteks Kanan
Otak Insani
B
Intuiting
Sitosin
Eksitasi tinggi
Inhibisi tinggi
Feeling
Limbik Kanan
Otak Mamalia
O
Feeling
RNA
Tanpa eksitasi & Inhibisi: spontan
-
-
Otak Reptil
AB/A/B/O
Insting
Adapun yang perlu penulis tekankan dari perbandingan kajian ini adalah dari apa yang penulis sebutkan dengan proses kalibrasi dengan Al Quran yaitu memberikan daya scanning hayati dan installing berbagi macam hal yang positif, dan bukan berarti satu surat cocok atau tidak cocok untuk personality tertentu akan tetapi yang kami maksudkan adalah ketika disebutkan surat tertentu yang diidentikkan dengan personality tertentu artinya orang yang memiliki personality dominan tersebut memiliki dosis lebih untuk berinteraksi dengannya adapun bagi orang yang personalitynya berbeda tetap membutuhkan sebagai daya untuk melihat dan mensilkulasikan kehidupan. Wallohu ‘alam.

Jumat, 06 Maret 2015

STIFIn Jay Tsunami, RESPON TERHADAP ARTIKEL PROF SARLITO WIRAWAN oleh FARID PONIMAN

Farid Poniman  18 April 2011



FARID PONIMAN
Saya sependapat dengan komentar Nuruddin Asyhadie di FB mengenai tulisan Sidik Jari, bahwa dengan apa yang Prof Sarlito lakukan sekarang (keterlibatannya dalam riset psikologi dan psikologi kriminal), dan reputasinya sebagai psikolog, kukira seharusnya Prof Sarlito tahu dengan baik posisi wacana fingerprint atau dermatoglip dengan psikologi sejak penyelidikan Galton, Bapak Psikometri, mengenai ras dan kecerdasan dengan fingerprint, sampai penggunaan korelasi NGF (Nerve Growth Factor) dan EGF (Epidermal Growth Factor) yang ditemukan oleh Rita Levi dan Dr. Stanley Cohen, yang membuat keduanya meraih nobel. fakultas psikologi melakukan bunuh diri jika mengakui finger print sbg alat psikologi. Terjadi "trade off", jk sdh mengakui finger print, maka ilmu2 behaviourism mesti dibakar. Shg mrk tdk perlu kurikulum sebanyak 4th+2th+2th itu lagi. Bs mendalami psikologi dg cara lain. Artinya, wajar fakultas psikologi, sbg fakultas tertua harus tetap survive dg caranya sendiri.

Keprofesoran Sarlito seharusnya ditunjukkan dengan membuat antitesis dari sejarah panjang tersebut. Itu baru kita bisa bicara ilmiah dan tidak ilmiah. Tradisi semacam inilah yang perlu dikembangkan dalam psikologi di Indonesia, sehingga komentar-komentar yang mengatasnamakan keilmiahan, alih-alih ilmiah justru nampak genit dan reaktif. Perlu disadari juga bahwa sebuah tulisan kritis, bukan berarti bisa mensterilkan dirinya dari kekritisan.

Ada sebuah kritikan menarik dari Karl Raimund Popper, tokoh pospositivis, yang mengkritisi Vienna Circle dan cara berpikirnya. Popper mengatakan bahwa, pengetahuan selayaknya bukan mempertahankan (memverifikasi) yang sebelumnya sudah dianggap ilmiah, namun juga memfalsifikasi. Artinya, suatu pengujian justru harus dilakukan untuk melihat kemungkinan apa yang selama ini dipercayai benar ternyata mungkin saja salah, dan sebaliknya, yang dianggap salah justru mungkin menjadi benar.

Popper mengambil perumpamaan, bahwa untuk menggugurkan tesis bahwa semua angsa adalah putih, cukup diperlukan satu angsa hitam. Maka itu, janganlah membuat pernyataan: ‘Tidak ada angsa berwarna hitam’, melainkan ‘Belum ada angsa berwarna hitam’. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan akan selalu terbuka akan hal-hal baru dan bukan semata memertahankan hal-hal lama.

Saya merasa perlu menuliskan ini, selain memenuhi ajakan menanggapi dari Ellen Kristi, juga karena melihat bahwa perdebatan mengenai fingerprint ini, nampaknya sama sekali tidak ilmiah karena banyaknya orang yang mendebat dengan model seperti Prof Sarlito, yaitu tanpa menguasai premisnya dengan baik, dan bicara mengatasnamakan ilmiah tapi tidak ada argumen ilmiahnya. Ini membuat, perdebatan mengenai fingerprint tidak pernah sampai ke ranah ilmiah.
Silahkan anda kuasai dulu apa itu ilmiah, baru kita bicara keilmiahan.


tulisan diatas keluar atau adanya tulisan dibawah ini..  silahkan disimak



By : Sarlito Wirawan Sarwono

Setelah kasus Otak Tengah, yang akhir-akhir ini sering ditanyakan kepada saya
adalah tentang Test Sidik Jari untuk mengetahui kepribadian anak.
Saya sendiri yang sudah 43 tahun malang-melintang di dunia psikologi, belum pernah tahu sebelumnya
tentang keberadaan test tersebut dan tidak mau ambil pusing. Paling-paling penipuan
lagi, pikir saya.

Tetapi beberapa hari yang lalu, anak saya yang kebetulan juga psikolog, berceritera
kepada saya bahwa dia diajak temannya (baca: dikejar-kejar) temannya untuk
bergabung dengan usaha dia dalam usaha test Sidik Jari. Lumayan, kata temannya
itu. Captive market-nya ibu-ibu yang punya anak kecil, dan sekolah-sekolah, dan
biayanya Rp 500.000,-per anak.

Sebagai psikolog professional anak saya meragukan validitas dan reliabilitas
(keabsahan dan kesahihan) test itu. Apalagi dengan job dan statusnya yang sudah
mapan dan gajinya yang sudah berlipat-lipat di atas UMR, dia tidak mau ambil risiko,
karena itu ia minta pendapat saya.

Saya langsung saja menyatakan bahwa saya pun tidak percaya, tetapi saya
penasaran. Maka saya pun browsing semua jurnal Psikologi (hampir seluruh dunia
yang berbahasa Inggris) yang bisa diakses oleh mesin searcher dari Asosiasi Psikologi
Amerika (APA) dimana saya menjadi salah satu anggotanya.
Hasilnya menakjubkan, sekitar 40.000 tulisan yang mengandung kata “finger print”.
Langsung saya cari judul-judul yang kira-kira terkait dengan sidik jari dalam
hubungannya dengan bakat, kepribadian, atau kecerdasan anak. Hasilnya: NIHIL!
Sedangkan kalau saya gunakan kata kunci Dermatoglyphic (Dermato artinya kulit,
Glyphs artinya ukiran, jadi kulit yang berukiran) ada satu keluaran, yaitu tulisan
berjudul “Neurodevelopmental Interactions Conferring Risk for Schizophrenia: A Study
of Dermatoglyphic Markers in Patients and Relatives”, oleh
Avila, Matthew T.; Sherr, Jay; Valentine, Leanne E.; Blaxton, Teresa A.; Thaker,
Gunvant K. dalam Schizophrenia Bulletin, Vol 29(3), 2003, halaman 595-605. Jadi
tulisan yang satu ini pun hanya tentang hubungan antara gejala sakit jiwa
skhizoprenia (yang dipercaya merupakan penyakit turunan) dengan pola sidik jari
(yang juga merupakan bawaan),

Sebaliknya, dari Google saya mendapat banyak sekali keluaran setelah memasukkan
kata kunci “sidik jari”. Bahkan ada website-nya sendiri. Hampir semuanya berceritera
tentang ke-ilmiahan metode analisis kepribadian dengan test Sidik Jari ini. Bahkan
ada iklan promo yang menawarkan test Sidik jari “hanya” untuk Rp 375.000 per anak.
Sisanya adalah testimoni dari orang-orang yang pernah mencoba test yang katanya
pelaksanaannya sangat mudah. Sedangkan salah satu kalimat promosi mereka adalah
bahwa “Analisa sidik jari memiliki tingkat akurasi lebih tinggi daripada metode
pengukuran lain. Klaim akurasi 87%”.

Luar biasa kalau test itu benar. Kalau seorang ibu sudah mengetahui seluruh “rahasia”
kepribadian anaknya melalui sidik jari anak, maka dia tinggal ongkang-ongkang kaki
dan dia hanya perlu mengatur anaknya sesuai dengan petunjuk hasil test Sidik Jari,
dan anaknya akan menjadi orang yang pandai, jujur, kreatif, berbakti pada orangtua,
beriman, bertakwa, saleh/salehah. Lebih senang lagi anggota Densus88. Tidak perlu
berpayah-payah lagi mereka. Cukup dengan memeriksa sidik jari, mereka bisa
mengidentifikasi pembom bunuh diri menangkapnya dan memasukkannya ke penjara.


Pandangan bahwa kepribadian ditentukan oleh fator bawaan (nativisme) sudah lama
ditinggalkan oleh Psikologi . Teori yang berlaku sekarang adalah bahwa kepribadian
ditentukan oleh pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Karena itu untuk
memeriksanya diperlukan proses yang panjang (metode psikodiagnostik, assessment)
dan duit yang lumayan banyak.
Karena itu saya tidak pernah menyarankan orang untuk ikut psikotes kalau hanya
untuk ingin tahu. Buang-buang duit. Tetapi lebih sia-sia lagi kalau buang duit untuk
tes Sidik Jari. Dr Budi Matindas, psikolog (UI) menerangkannya jauh lebih simpel:
sidik jari permanen dari lahir sampai mati. Jiwa/kepribadian berubah terus dari bayi
sampai tua. Bagaimana sesuatu yang berubah bisa berkorelasi dengan sesuatu yang
tidak pernah berubah?

Jakarta, 11 Mei 2011
Sarlito W. Sarwono Tulisan ini dimuat di Koran SINDO 15 Mei 2011. Atas permintaan
banyak pihak, saya muat ulang di sini.

*saya termasuk yg suka metode observasi, dibanding tes2an, krn keyakinan yg sama bhw manusia itu dinamis
 
Begitu banyak yang bisa ditemukan. Itu semua membuat saya makin tidak percaya bahwa Prof Sarlito benar-benar mencari jurnal atau penelitian terkait. Justru aneh kalau ada sebanyak itu jurnal, tapi seorang profesor tidak mampu menemukannya satu pun.

Ini pelajaran penting dalam membuat sebuah argumen ilmiah yang tidak banyak orang psikologi mampu melakukannya. Alasan-alasan semacam: tidak nemu jurnalnya, sudah kuno, sudah mulai ditinggalkan, dan sejenisnya, itu semua bukan sebuah argumen ilmiah. Membuat sebuah argumen ilmiah, carilah argumen yang diberikan oleh para teoritisi dermatoglyphic (fingerprint). Pelajari tesis-tesisnya, lalu buat antitesisnya. Teori vs teori. Data vs data. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan, khususnya psikologi dalam konteks ini, akan berkembang semakin luas dan bermanfaat.

Bukankah Prof Sarlito sendiri menulis: “…setelah memasukkan kata kunci “sidik jari”. Bahkan ada website-nya sendiri. Hampir semuanya berceritera tentang ke-ilmiahan metode analisis kepribadian dengan test Sidik Jari ini.” Kenapa sebagai seorang profesor anda tidak kutip saja salah satu tesis ilmiah mereka dan berikan antitesis ilmiahnya? Bukankah semestinya di situ keilmiahan seorang profesor ditunjukkan? Bukannya malah melantur kesana kemari mulai soal ibu-ibu yang ongkang-ongkang sampai soal Densus88.

Coba Prof Sarlito membaca model-model perdebatan ilmiah, misalnya perdebatan Sigmund Freud dan Carl Gustav Jung, perdebatan Paul Ricour dan Algirdas Greimas, dst. Mereka berdebat fokus pada masing-masing tesis, bukan kemana-mana. Premis-premis mereka pun jelas, bukan muncul dari dasar laut seperti tulisan Prof Sarlito ini:

Luar biasa kalau test itu benar. Kalau seorang ibu sudah mengetahui seluruh “rahasia” kepribadian anaknya melalui sidik jari anak, maka dia tinggal ongkang-ongkang kaki dan dia hanya perlu mengatur anaknya sesuai dengan petunjuk hasil test Sidik Jari, dan anaknya akan menjadi orang yang pandai, jujur, kreatif, berbakti pada orangtua, beriman, bertakwa, saleh/salehah. Lebih senang lagi anggota Densus88. Tidak perlu berpayah-payah lagi mereka. Cukup dengan memeriksa sidik jari, mereka bisa mengidentifikasi pembom bunuh diri menangkapnya dan memasukkannya ke penjara.

Di sini jelas bahwa premis utamanya saja Prof Sarlito tidak menguasai, kok berani-beraninya membuat kesimpulan? Apakah mengenali potensi anak sama dengan memastikan arah hidup si anak? Tentu saja ini hal yang berbeda. Ini logika mendasar tapi tidak dipahami Prof Sarlito.

Mengenali potensi anak, hanya berfungsi membantu anak untuk mengembangkan potensinya, sekaligus mengatasi kelemahannya. Dan dalam hal ini, fungsinya sama saja dengan semua bentuk lain dari tes dan diagnosa psikologi, yaitu sifatnya hanya membantu. Di luar apa yang telah dipetakan, kemungkinan-kemungkinan dalam kehidupan jelas masih ada.

Di sinilah perlunya memahami logika dasar bahwa tes Fingerprint, tujuannya adalah memetakan dan sama seperti ilmu pengetahuan lain, sebuah pemetaan atau prediksi saintifik hanya berlaku ketika memenuhi hukum ceteris paribus.
Ketidakpahaman Prof Sarlito mengenai ilmu pengetahuan dan logika, juga nampak pada kutipan berikut:

Fingerprint Test, Keilmiahan dan Tulisan ‘Sidik Jari’ Prof Sarlito

Oleh
Audifax
Bergiat di SMART HRPD, Forum Studi Kebudayaan (FSK) ITB dan Pustaka Kushala

Berdebat mengenai Fingerprint Test, sudah bukan hal baru lagi. Sudah sejak 2008 lalu, ketika saya dan Ratih Ibrahim memulai menggunakan alat ini untuk biro kami masing-masing, perdebatan sudah muncul. Argumen kontra umumnya mempersoalkan keilmiahan. Sebuah argumen yang sebenarnya umum dan sering digunakan bukan hanya dalam kasus Fingerprint, tapi juga hampir semua kasus yang berkaitan dengan ‘pemikiran baru’ atau ‘metode baru’.

Permasalahannya, kontra argumen yang mengatasnamakan keilmiahan itu sendiri sering dilontarkan secara tidak ilmiah. Salah satunya, yang kebetulan saya diminta menanggapi oleh Ellen Kristi, teman dari Semarang, adalah tulisan dari Profesor Sarlito berjudul ‘Sidik Jari’, yang di-share di Facebook dan dimuat di harian SINDO edisi 15 Mei 2011. Mengapa saya katakan argumen itu tidak ilmiah? Mari kita lihat satu demi satu.

Pertama soal klaim bahwa beliau telah melakukan pencarian jurnal dan tidak menemukan sama sekali. Klaim itu patut diragukan karena dengan mesin pencari Google saja bisa ditemukan banyak. Cuma ada dua kemungkinan, Prof Sarlito mencari di tempat yang memang tidak ada, atau klaim itu lebih merupakan dramatisasi padahal tidak dia lakukan dengan sungguh-sungguh. Apalagi dengan tambahan bahwa telah menemukan 40.000 dan tidak ada satupun yang berhubungan, dari situ saja sudah tidak ilmiah kalau ada orang bisa membaca 40.000 jurnal dalam tempo hanya beberapa hari.

Saya sendiri mencoba memverifikasi dengan menggunakan mesin pencari Google, dengan kata kunci: dermatoglyphic, intelligence dan setting hanya mencari file pdf. Ada ribuan thread muncul, dan banyak di antaranya jurnal. Saya berikan beberapa yang terata:

1. Association between Finger Patterns of Digit II and Intelligence Quotient Level in Adolescents. Mostaf Najafi, MD, (2009), Department of Psychiatry, Shahrekord University of Medical Sciences, Shahrekord, IR Iran. Link: http://journals.tums.ac.ir/upload_files/pdf/14053.pdf

2. Quantitative Dermatoglyphic Analysis in Persons with Superior Intelligence. M. Cezarik, dkk, 1996; link: http://www.collantropol.hr/_doc/Coll.%20Antropol.%2020%20%281996%29%202:%20413-418.pdf

3. Application and Development of Palmprint Research, Yunyu Zhou, dkk, (2001), link: http://ai.pku.edu.cn/aiwebsite/research.files/collected%20papers%20-%20palmprint/Application%20and%20development%20of%20palm%20print%20research.pdf

4. Analysis of dermatoglyphic signs for definition psychic functional state of human's organism, Anatoly Bikh,dkk; link: http://www.foibg.com/ibs_isc/ibs-07/IBS-07-p06.pdf

5. Determining The Association Between Dermatoglyphics And Schizophrenia By Using Fingerprint Asymmetry Measures; Jen-Feng Wang, dkk; link: http://www.eng.mu.edu/nagurka/Wang_Determining%20the%20Association_IJPRAI2203_P601.pdf

6. Quantifying the Dermatoglyphic Growth Patterns in Children through Adolescence; J.K. Schneider, Ph.D.; link: http://www.ncjrs.gov/pdffiles1/nij/grants/232746.pdf

Sebelum ini saya juga sudah memiliki sejumlah referensi dari jurnal, ini beberapa di antaranya:

CHINA SPORT SCIENCE AND TECHNOLOGY 1999-02
The Feasible Study on Identification of Children's Intelligent by Dermatoglyphic Pattern
Liu Hongzhen, Zhang Huaichun, Li Ziqin, Tang Xiaohui

Pasca Galton, nampaknya Dermatoglyphs semakin berkembang dan diyakini sebagai ilmu pengetahuan yang sahih, lengkap dengan buku-buku dan jurnal-jurnal “ilmiah” mereka sendiri. Kalau kita cari di Google, dengan kata kunci Dermatoglyphs akan keluar lebih dari 70.000 informasi, tetapi semuanya di luar komunitas ilmu psikologi. Dengan demikian Dermatoglyphs sebenarnya adalah pseudo science (ilmu semu) dari psikologi.

Saya semakin heran dengan keprofesoran Sarlito ketika membaca kalimat: “Kalau kita cari di Google, dengan kata kunci Dermatoglyphs akan keluar lebih dari 70.000 informasi, tetapi semuanya di luar komunitas ilmu psikologi. Dengan demikian Dermatoglyphs sebenarnya adalah pseudo science (ilmu semu) dari psikologi.” Jadi, kalau suatu ilmu berada di luar komunitas ilmu psikologi lalu disimpulkan sebagai pseudo-science dari psikologi? Wah, betapa arogan ‘komunitas’ macam itu. Dan, dari cara memverifikasi berdasarkan cara semacam itu saja Prof Sarlito sudah tidak ilmiah. Apa Prof Sarlito tidak menyadari bahwa banyak orang di luar komunitas psikologi mampu memelajari secara lebih mendalam soal psikologi ketimbang orang-orang dalam komunitas psikologi?

Sebagai profesor, semestinya Prof Sarlito menyadari bahwa pengujian suatu ilmu bukan berdasarkan suatu komunitas, melainkan dengan menguji bangunan ontologi, epistemologi dan aksiologi/metodologi-nya. Ini satu hal mendasar lagi yang tidak terlihat dari cara Prof Sarlito menuliskan mengenai Fingerprint.

Lalu ketika Prof Sarlito menuliskan:

“Tetapi ada satu hal yang tidak bisa dipenuhi oleh semua ilmu semu, yaitu tidak bisa diverifikasi teorinya.”

Saya sebenarnya penasaran, Prof Sarlito ini tahu apa enggak mengenai ‘verifikasi’. Dugaan saya, beliau tidak mengetahui alasannya. (Saya menantang siapapun juga yang membaca ini untuk menjelaskan alasan mengapa keilmiahan perlu ‘verifikasi’ dan verifikasi macam apa). Darimana saya menduga kalau beliau tidak tahu? Pertama dari tidak adanya alasan jelas mengapa harus ada verifikasi. Kedua, dari tulisan selanjutnya:

Dalam Astrologi, misalnya, tidak pernah bisa dibuktikan hubungan antara singa yang galak, dengan bintang Leo. Apalagi membuktikan manusia berbintang Leo dengan sifatnya yang galak (banyak juga cewek Leo yang jinak-jinak merpati, loh!).
Dalam hal ilmu Sidik Jari, sama saja. Tidak bisa diverifikasi bagaimana hububnannya antara sidik jari (bawaan) dengan sifat, minat, perilaku, apalagi jodoh dan karir, bahkan kesalehan seseorang yang merupakan hasil dari ratusan variable seperti faktor sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, lingkungan alam, dan sebagainya, walaupun juga termasuk sedikit faktor bawaan.

Prof Sarlito membaca dari literatur astrologi mana yang menyatakan manusia berbintang Leo sifatnya galak? Itu benar ada atau cuma kira-kira Prof Sarlito? Tidak jelas. Di sini kembali terlihat logika yang premisnya muncul dari dasar laut. Itu menunjukkan argumen itu disusun asal ngomong, bukan karena benar-benar tahu apa yang diomongkan.
Dan penilaian Prof Sarlito disini pun seolah dia sterilkan dari verifikasi. Bagaimana memverifikasi bahwa memang belum pernah ada penelitian yang mengkaji hubungan astrologi dan kepribadian? Ini saya buktikan kalau logika Prof Sarlito muncul dari dasar laut. Ternyata ada kok peneliti dari University of Georgia, yang meneliti hubungan antara astrologi dengan personality traits dan menemukan hubungannya:

Hyokjin Kwak; Astrology: Its Influence On Consumers' Buying Patterns And Consumers' Evaluations Of Products And Services, link: http://www.terry.uga.edu/~ajaju/papers/AMS2000.pdf

Begitu juga komentar Prof Sarlito mengenai Sidik Jari dalam kutipan di atas, tidak bisa diverifikasi darimana asalnya. Bahkan, terlihat bahwa Prof Sarlito tidak menguasai dengan benar premis yang mendasari, walau dalam tulisannya mengutip pemikiran Sir Francis Galton dan sejumlah pemikir lain yang mengembangkan telaah sidik jari.

Saya sependapat dengan komentar Nuruddin Asyhadie di FB mengenai tulisan Sidik Jari, bahwa dengan apa yang Prof Sarlito lakukan sekarang (keterlibatannya dalam riset psikologi dan psikologi kriminal), dan reputasinya sebagai psikolog, kukira seharusnya Prof Sarlito tahu dengan baik posisi wacana fingerprint atau dermatoglip dengan psikologi sejak penyelidikan Galton, Bapak Psikometri, mengenai ras dan kecerdasan dengan fingerprint, sampai penggunaan korelasi NGF (Nerve Growth Factor) dan EGF (Epidermal Growth Factor) yang ditemukan oleh Rita Levi dan Dr. Stanley Cohen, yang membuat keduanya meraih nobel.

Keprofesoran Sarlito seharusnya ditunjukkan dengan membuat antitesis dari sejarah panjang tersebut. Itu baru kita bisa bicara ilmiah dan tidak ilmiah. Tradisi semacam inilah yang perlu dikembangkan dalam psikologi di Indonesia, sehingga komentar-komentar yang mengatasnamakan keilmiahan, alih-alih ilmiah justru nampak genit dan reaktif. Perlu disadari juga bahwa sebuah tulisan kritis, bukan berarti bisa mensterilkan dirinya dari kekritisan.

Ada sebuah kritikan menarik dari Karl Raimund Popper, tokoh pospositivis, yang mengkritisi Vienna Circle dan cara berpikirnya. Popper mengatakan bahwa, pengetahuan selayaknya bukan mempertahankan (memverifikasi) yang sebelumnya sudah dianggap ilmiah, namun juga memfalsifikasi. Artinya, suatu pengujian justru harus dilakukan untuk melihat kemungkinan apa yang selama ini dipercayai benar ternyata mungkin saja salah, dan sebaliknya, yang dianggap salah justru mungkin menjadi benar.

Popper mengambil perumpamaan, bahwa untuk menggugurkan tesis bahwa semua angsa adalah putih, cukup diperlukan satu angsa hitam. Maka itu, janganlah membuat pernyataan: ‘Tidak ada angsa berwarna hitam’, melainkan ‘Belum ada angsa berwarna hitam’. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan akan selalu terbuka akan hal-hal baru dan bukan semata memertahankan hal-hal lama.

Saya merasa perlu menuliskan ini, selain memenuhi ajakan menanggapi dari Ellen Kristi, juga karena melihat bahwa perdebatan mengenai fingerprint ini, nampaknya sama sekali tidak ilmiah karena banyaknya orang yang mendebat dengan model seperti Prof Sarlito, yaitu tanpa menguasai premisnya dengan baik, dan bicara mengatasnamakan ilmiah tapi tidak ada argumen ilmiahnya. Ini membuat, perdebatan mengenai fingerprint tidak pernah sampai ke ranah ilmiah.
Silahkan anda kuasai dulu apa itu ilmiah, baru kita bicara keilmiahan.