Farid Poniman 18 April 2011 |
FARID
PONIMAN
Saya
sependapat dengan komentar Nuruddin Asyhadie di FB mengenai tulisan Sidik Jari,
bahwa dengan apa yang Prof Sarlito lakukan sekarang (keterlibatannya dalam
riset psikologi dan psikologi kriminal), dan reputasinya sebagai psikolog,
kukira seharusnya Prof Sarlito tahu dengan baik posisi wacana fingerprint atau
dermatoglip dengan psikologi sejak penyelidikan Galton, Bapak Psikometri,
mengenai ras dan kecerdasan dengan fingerprint, sampai penggunaan korelasi NGF
(Nerve Growth Factor) dan EGF (Epidermal Growth Factor) yang ditemukan oleh
Rita Levi dan Dr. Stanley Cohen, yang membuat keduanya meraih nobel. fakultas
psikologi melakukan bunuh diri jika mengakui finger print sbg alat psikologi.
Terjadi "trade off", jk sdh mengakui finger print, maka ilmu2
behaviourism mesti dibakar. Shg mrk tdk perlu kurikulum sebanyak 4th+2th+2th
itu lagi. Bs mendalami psikologi dg cara lain. Artinya, wajar fakultas
psikologi, sbg fakultas tertua harus tetap survive dg caranya sendiri.
Keprofesoran
Sarlito seharusnya ditunjukkan dengan membuat antitesis dari sejarah panjang
tersebut. Itu baru kita bisa bicara ilmiah dan tidak ilmiah. Tradisi semacam
inilah yang perlu dikembangkan dalam psikologi di Indonesia, sehingga
komentar-komentar yang mengatasnamakan keilmiahan, alih-alih ilmiah justru
nampak genit dan reaktif. Perlu disadari juga bahwa sebuah tulisan kritis,
bukan berarti bisa mensterilkan dirinya dari kekritisan.
Ada sebuah
kritikan menarik dari Karl Raimund Popper, tokoh pospositivis, yang mengkritisi
Vienna Circle dan cara berpikirnya. Popper mengatakan bahwa, pengetahuan
selayaknya bukan mempertahankan (memverifikasi) yang sebelumnya sudah dianggap
ilmiah, namun juga memfalsifikasi. Artinya, suatu pengujian justru harus
dilakukan untuk melihat kemungkinan apa yang selama ini dipercayai benar
ternyata mungkin saja salah, dan sebaliknya, yang dianggap salah justru mungkin
menjadi benar.
Popper
mengambil perumpamaan, bahwa untuk menggugurkan tesis bahwa semua angsa adalah
putih, cukup diperlukan satu angsa hitam. Maka itu, janganlah membuat
pernyataan: ‘Tidak ada angsa berwarna hitam’, melainkan ‘Belum ada angsa
berwarna hitam’. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan akan selalu terbuka
akan hal-hal baru dan bukan semata memertahankan hal-hal lama.
Saya merasa
perlu menuliskan ini, selain memenuhi ajakan menanggapi dari Ellen Kristi, juga
karena melihat bahwa perdebatan mengenai fingerprint ini, nampaknya sama sekali
tidak ilmiah karena banyaknya orang yang mendebat dengan model seperti Prof
Sarlito, yaitu tanpa menguasai premisnya dengan baik, dan bicara
mengatasnamakan ilmiah tapi tidak ada argumen ilmiahnya. Ini membuat,
perdebatan mengenai fingerprint tidak pernah sampai ke ranah ilmiah.
Silahkan
anda kuasai dulu apa itu ilmiah, baru kita bicara keilmiahan.
tulisan diatas keluar atau adanya tulisan dibawah ini.. silahkan disimak
By : Sarlito Wirawan Sarwono
Setelah kasus Otak Tengah, yang akhir-akhir ini sering
ditanyakan kepada saya
adalah tentang Test Sidik Jari untuk mengetahui kepribadian
anak.
Saya sendiri yang sudah 43 tahun malang-melintang di dunia
psikologi, belum pernah tahu sebelumnya
tentang keberadaan test tersebut dan tidak mau ambil pusing.
Paling-paling penipuan
lagi, pikir saya.
Tetapi beberapa hari yang lalu, anak saya yang kebetulan
juga psikolog, berceritera
kepada saya bahwa dia diajak temannya (baca: dikejar-kejar)
temannya untuk
bergabung dengan usaha dia dalam usaha test Sidik Jari.
Lumayan, kata temannya
itu. Captive market-nya ibu-ibu yang punya anak kecil, dan
sekolah-sekolah, dan
biayanya Rp 500.000,-per anak.
Sebagai psikolog professional anak saya meragukan validitas
dan reliabilitas
(keabsahan dan kesahihan) test itu. Apalagi dengan job dan
statusnya yang sudah
mapan dan gajinya yang sudah berlipat-lipat di atas UMR, dia
tidak mau ambil risiko,
karena itu ia minta pendapat saya.
Saya langsung saja menyatakan bahwa saya pun tidak percaya,
tetapi saya
penasaran. Maka saya pun browsing semua jurnal Psikologi
(hampir seluruh dunia
yang berbahasa Inggris) yang bisa diakses oleh mesin
searcher dari Asosiasi Psikologi
Amerika (APA) dimana saya menjadi salah satu anggotanya.
Hasilnya menakjubkan, sekitar 40.000 tulisan yang mengandung
kata “finger print”.
Langsung saya cari judul-judul yang kira-kira terkait dengan
sidik jari dalam
hubungannya dengan bakat, kepribadian, atau kecerdasan anak.
Hasilnya: NIHIL!
Sedangkan kalau saya gunakan kata kunci Dermatoglyphic
(Dermato artinya kulit,
Glyphs artinya ukiran, jadi kulit yang berukiran) ada satu
keluaran, yaitu tulisan
berjudul “Neurodevelopmental Interactions Conferring Risk
for Schizophrenia: A Study
of Dermatoglyphic Markers in Patients and Relatives”, oleh
Avila, Matthew T.; Sherr, Jay; Valentine, Leanne E.;
Blaxton, Teresa A.; Thaker,
Gunvant K. dalam Schizophrenia Bulletin, Vol 29(3), 2003,
halaman 595-605. Jadi
tulisan yang satu ini pun hanya tentang hubungan antara
gejala sakit jiwa
skhizoprenia (yang dipercaya merupakan penyakit turunan)
dengan pola sidik jari
(yang juga merupakan bawaan),
Sebaliknya, dari Google saya mendapat banyak sekali keluaran
setelah memasukkan
kata kunci “sidik jari”. Bahkan ada website-nya sendiri.
Hampir semuanya berceritera
tentang ke-ilmiahan metode analisis kepribadian dengan test
Sidik Jari ini. Bahkan
ada iklan promo yang menawarkan test Sidik jari “hanya”
untuk Rp 375.000 per anak.
Sisanya adalah testimoni dari orang-orang yang pernah
mencoba test yang katanya
pelaksanaannya sangat mudah. Sedangkan salah satu kalimat
promosi mereka adalah
bahwa “Analisa sidik jari memiliki tingkat akurasi lebih
tinggi daripada metode
pengukuran lain. Klaim akurasi 87%”.
Luar biasa kalau test itu benar. Kalau seorang ibu sudah
mengetahui seluruh “rahasia”
kepribadian anaknya melalui sidik jari anak, maka dia
tinggal ongkang-ongkang kaki
dan dia hanya perlu mengatur anaknya sesuai dengan petunjuk
hasil test Sidik Jari,
dan anaknya akan menjadi orang yang pandai, jujur, kreatif,
berbakti pada orangtua,
beriman, bertakwa, saleh/salehah. Lebih senang lagi anggota
Densus88. Tidak perlu
berpayah-payah lagi mereka. Cukup dengan memeriksa sidik
jari, mereka bisa
mengidentifikasi pembom bunuh diri menangkapnya dan
memasukkannya ke penjara.
Pandangan bahwa kepribadian ditentukan oleh fator bawaan
(nativisme) sudah lama
ditinggalkan oleh Psikologi . Teori yang berlaku sekarang
adalah bahwa kepribadian
ditentukan oleh pengalaman yang diperoleh dari lingkungan.
Karena itu untuk
memeriksanya diperlukan proses yang panjang (metode
psikodiagnostik, assessment)
dan duit yang lumayan banyak.
Karena itu saya tidak pernah menyarankan orang untuk ikut
psikotes kalau hanya
untuk ingin tahu. Buang-buang duit. Tetapi lebih sia-sia
lagi kalau buang duit untuk
tes Sidik Jari. Dr Budi Matindas, psikolog (UI)
menerangkannya jauh lebih simpel:
sidik jari permanen dari lahir sampai mati. Jiwa/kepribadian
berubah terus dari bayi
sampai tua. Bagaimana sesuatu yang berubah bisa berkorelasi
dengan sesuatu yang
tidak pernah berubah?
Jakarta, 11 Mei 2011
Sarlito W. Sarwono Tulisan ini dimuat di Koran SINDO 15 Mei
2011. Atas permintaan
banyak pihak, saya muat ulang di sini.
*saya termasuk yg suka metode observasi, dibanding tes2an,
krn keyakinan yg sama bhw manusia itu dinamis
Begitu banyak yang bisa ditemukan. Itu semua membuat saya
makin tidak percaya bahwa Prof Sarlito benar-benar mencari jurnal atau
penelitian terkait. Justru aneh kalau ada sebanyak itu jurnal, tapi seorang
profesor tidak mampu menemukannya satu pun.
Ini pelajaran penting dalam membuat sebuah argumen ilmiah
yang tidak banyak orang psikologi mampu melakukannya. Alasan-alasan semacam:
tidak nemu jurnalnya, sudah kuno, sudah mulai ditinggalkan, dan sejenisnya, itu
semua bukan sebuah argumen ilmiah. Membuat sebuah argumen ilmiah, carilah
argumen yang diberikan oleh para teoritisi dermatoglyphic (fingerprint).
Pelajari tesis-tesisnya, lalu buat antitesisnya. Teori vs teori. Data vs data.
Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan, khususnya psikologi dalam konteks ini,
akan berkembang semakin luas dan bermanfaat.
Bukankah Prof Sarlito sendiri menulis: “…setelah memasukkan
kata kunci “sidik jari”. Bahkan ada website-nya sendiri. Hampir semuanya
berceritera tentang ke-ilmiahan metode analisis kepribadian dengan test Sidik
Jari ini.” Kenapa sebagai seorang profesor anda tidak kutip saja salah satu
tesis ilmiah mereka dan berikan antitesis ilmiahnya? Bukankah semestinya di
situ keilmiahan seorang profesor ditunjukkan? Bukannya malah melantur kesana
kemari mulai soal ibu-ibu yang ongkang-ongkang sampai soal Densus88.
Coba Prof Sarlito membaca model-model perdebatan ilmiah,
misalnya perdebatan Sigmund Freud dan Carl Gustav Jung, perdebatan Paul Ricour
dan Algirdas Greimas, dst. Mereka berdebat fokus pada masing-masing tesis,
bukan kemana-mana. Premis-premis mereka pun jelas, bukan muncul dari dasar laut
seperti tulisan Prof Sarlito ini:
Luar biasa kalau test itu benar. Kalau seorang ibu sudah
mengetahui seluruh “rahasia” kepribadian anaknya melalui sidik jari anak, maka
dia tinggal ongkang-ongkang kaki dan dia hanya perlu mengatur anaknya sesuai
dengan petunjuk hasil test Sidik Jari, dan anaknya akan menjadi orang yang
pandai, jujur, kreatif, berbakti pada orangtua, beriman, bertakwa,
saleh/salehah. Lebih senang lagi anggota Densus88. Tidak perlu berpayah-payah
lagi mereka. Cukup dengan memeriksa sidik jari, mereka bisa mengidentifikasi
pembom bunuh diri menangkapnya dan memasukkannya ke penjara.
Di sini jelas bahwa premis utamanya saja Prof Sarlito tidak
menguasai, kok berani-beraninya membuat kesimpulan? Apakah mengenali potensi
anak sama dengan memastikan arah hidup si anak? Tentu saja ini hal yang
berbeda. Ini logika mendasar tapi tidak dipahami Prof Sarlito.
Mengenali potensi anak, hanya berfungsi membantu anak untuk
mengembangkan potensinya, sekaligus mengatasi kelemahannya. Dan dalam hal ini,
fungsinya sama saja dengan semua bentuk lain dari tes dan diagnosa psikologi,
yaitu sifatnya hanya membantu. Di luar apa yang telah dipetakan,
kemungkinan-kemungkinan dalam kehidupan jelas masih ada.
Di sinilah perlunya memahami logika dasar bahwa tes
Fingerprint, tujuannya adalah memetakan dan sama seperti ilmu pengetahuan lain,
sebuah pemetaan atau prediksi saintifik hanya berlaku ketika memenuhi hukum
ceteris paribus.
Ketidakpahaman Prof Sarlito mengenai ilmu pengetahuan dan
logika, juga nampak pada kutipan berikut:
Fingerprint Test, Keilmiahan dan Tulisan ‘Sidik Jari’ Prof
Sarlito
Oleh
Audifax
Bergiat di SMART HRPD, Forum Studi Kebudayaan (FSK) ITB dan
Pustaka Kushala
Berdebat mengenai Fingerprint Test, sudah bukan hal baru
lagi. Sudah sejak 2008 lalu, ketika saya dan Ratih Ibrahim memulai menggunakan
alat ini untuk biro kami masing-masing, perdebatan sudah muncul. Argumen kontra
umumnya mempersoalkan keilmiahan. Sebuah argumen yang sebenarnya umum dan
sering digunakan bukan hanya dalam kasus Fingerprint, tapi juga hampir semua
kasus yang berkaitan dengan ‘pemikiran baru’ atau ‘metode baru’.
Permasalahannya, kontra argumen yang mengatasnamakan
keilmiahan itu sendiri sering dilontarkan secara tidak ilmiah. Salah satunya,
yang kebetulan saya diminta menanggapi oleh Ellen Kristi, teman dari Semarang,
adalah tulisan dari Profesor Sarlito berjudul ‘Sidik Jari’, yang di-share di
Facebook dan dimuat di harian SINDO edisi 15 Mei 2011. Mengapa saya katakan
argumen itu tidak ilmiah? Mari kita lihat satu demi satu.
Pertama soal klaim bahwa beliau telah melakukan pencarian
jurnal dan tidak menemukan sama sekali. Klaim itu patut diragukan karena dengan
mesin pencari Google saja bisa ditemukan banyak. Cuma ada dua kemungkinan, Prof
Sarlito mencari di tempat yang memang tidak ada, atau klaim itu lebih merupakan
dramatisasi padahal tidak dia lakukan dengan sungguh-sungguh. Apalagi dengan
tambahan bahwa telah menemukan 40.000 dan tidak ada satupun yang berhubungan,
dari situ saja sudah tidak ilmiah kalau ada orang bisa membaca 40.000 jurnal
dalam tempo hanya beberapa hari.
Saya sendiri mencoba memverifikasi dengan menggunakan mesin
pencari Google, dengan kata kunci: dermatoglyphic, intelligence dan setting
hanya mencari file pdf. Ada ribuan thread muncul, dan banyak di antaranya
jurnal. Saya berikan beberapa yang terata:
1. Association between Finger Patterns of Digit II and
Intelligence Quotient Level in Adolescents. Mostaf Najafi, MD, (2009), Department
of Psychiatry, Shahrekord University of Medical Sciences, Shahrekord, IR Iran.
Link: http://journals.tums.ac.ir/upload_files/pdf/14053.pdf
2. Quantitative Dermatoglyphic Analysis in Persons with
Superior Intelligence. M. Cezarik, dkk, 1996; link: http://www.collantropol.hr/_doc/Coll.%20Antropol.%2020%20%281996%29%202:%20413-418.pdf
3. Application and Development of Palmprint Research, Yunyu
Zhou, dkk, (2001), link:
http://ai.pku.edu.cn/aiwebsite/research.files/collected%20papers%20-%20palmprint/Application%20and%20development%20of%20palm%20print%20research.pdf
4. Analysis of dermatoglyphic signs for definition psychic
functional state of human's organism, Anatoly Bikh,dkk; link:
http://www.foibg.com/ibs_isc/ibs-07/IBS-07-p06.pdf
5. Determining The Association Between Dermatoglyphics And
Schizophrenia By Using Fingerprint Asymmetry Measures; Jen-Feng Wang, dkk;
link:
http://www.eng.mu.edu/nagurka/Wang_Determining%20the%20Association_IJPRAI2203_P601.pdf
6. Quantifying the Dermatoglyphic Growth Patterns in
Children through Adolescence; J.K. Schneider, Ph.D.; link:
http://www.ncjrs.gov/pdffiles1/nij/grants/232746.pdf
Sebelum ini saya juga sudah memiliki sejumlah referensi dari
jurnal, ini beberapa di antaranya:
CHINA SPORT SCIENCE AND TECHNOLOGY》
1999-02
The Feasible Study on Identification of Children's
Intelligent by Dermatoglyphic Pattern
Liu Hongzhen, Zhang Huaichun, Li Ziqin, Tang Xiaohui
Pasca Galton, nampaknya Dermatoglyphs semakin berkembang dan
diyakini sebagai ilmu pengetahuan yang sahih, lengkap dengan buku-buku dan
jurnal-jurnal “ilmiah” mereka sendiri. Kalau kita cari di Google, dengan kata
kunci Dermatoglyphs akan keluar lebih dari 70.000 informasi, tetapi semuanya di
luar komunitas ilmu psikologi. Dengan demikian Dermatoglyphs sebenarnya adalah
pseudo science (ilmu semu) dari psikologi.
Saya semakin heran dengan keprofesoran Sarlito ketika
membaca kalimat: “Kalau kita cari di Google, dengan kata kunci Dermatoglyphs
akan keluar lebih dari 70.000 informasi, tetapi semuanya di luar komunitas ilmu
psikologi. Dengan demikian Dermatoglyphs sebenarnya adalah pseudo science (ilmu
semu) dari psikologi.” Jadi, kalau suatu ilmu berada di luar komunitas ilmu
psikologi lalu disimpulkan sebagai pseudo-science dari psikologi? Wah, betapa
arogan ‘komunitas’ macam itu. Dan, dari cara memverifikasi berdasarkan cara
semacam itu saja Prof Sarlito sudah tidak ilmiah. Apa Prof Sarlito tidak
menyadari bahwa banyak orang di luar komunitas psikologi mampu memelajari
secara lebih mendalam soal psikologi ketimbang orang-orang dalam komunitas
psikologi?
Sebagai profesor, semestinya Prof Sarlito menyadari bahwa
pengujian suatu ilmu bukan berdasarkan suatu komunitas, melainkan dengan
menguji bangunan ontologi, epistemologi dan aksiologi/metodologi-nya. Ini satu
hal mendasar lagi yang tidak terlihat dari cara Prof Sarlito menuliskan
mengenai Fingerprint.
Lalu ketika Prof Sarlito menuliskan:
“Tetapi ada satu hal yang tidak bisa dipenuhi oleh semua
ilmu semu, yaitu tidak bisa diverifikasi teorinya.”
Saya sebenarnya penasaran, Prof Sarlito ini tahu apa enggak
mengenai ‘verifikasi’. Dugaan saya, beliau tidak mengetahui alasannya. (Saya
menantang siapapun juga yang membaca ini untuk menjelaskan alasan mengapa
keilmiahan perlu ‘verifikasi’ dan verifikasi macam apa). Darimana saya menduga
kalau beliau tidak tahu? Pertama dari tidak adanya alasan jelas mengapa harus
ada verifikasi. Kedua, dari tulisan selanjutnya:
Dalam Astrologi, misalnya, tidak pernah bisa dibuktikan
hubungan antara singa yang galak, dengan bintang Leo. Apalagi membuktikan
manusia berbintang Leo dengan sifatnya yang galak (banyak juga cewek Leo yang
jinak-jinak merpati, loh!).
Dalam hal ilmu Sidik Jari, sama saja. Tidak bisa
diverifikasi bagaimana hububnannya antara sidik jari (bawaan) dengan sifat,
minat, perilaku, apalagi jodoh dan karir, bahkan kesalehan seseorang yang
merupakan hasil dari ratusan variable seperti faktor sosial, ekonomi, budaya,
pendidikan, lingkungan alam, dan sebagainya, walaupun juga termasuk sedikit
faktor bawaan.
Prof Sarlito membaca dari literatur astrologi mana yang
menyatakan manusia berbintang Leo sifatnya galak? Itu benar ada atau cuma
kira-kira Prof Sarlito? Tidak jelas. Di sini kembali terlihat logika yang
premisnya muncul dari dasar laut. Itu menunjukkan argumen itu disusun asal
ngomong, bukan karena benar-benar tahu apa yang diomongkan.
Dan penilaian Prof Sarlito disini pun seolah dia sterilkan
dari verifikasi. Bagaimana memverifikasi bahwa memang belum pernah ada
penelitian yang mengkaji hubungan astrologi dan kepribadian? Ini saya buktikan
kalau logika Prof Sarlito muncul dari dasar laut. Ternyata ada kok peneliti
dari University of Georgia, yang meneliti hubungan antara astrologi dengan
personality traits dan menemukan hubungannya:
Hyokjin Kwak; Astrology: Its Influence On Consumers' Buying
Patterns And Consumers' Evaluations Of Products And Services, link:
http://www.terry.uga.edu/~ajaju/papers/AMS2000.pdf
Begitu juga komentar Prof Sarlito mengenai Sidik Jari dalam
kutipan di atas, tidak bisa diverifikasi darimana asalnya. Bahkan, terlihat
bahwa Prof Sarlito tidak menguasai dengan benar premis yang mendasari, walau
dalam tulisannya mengutip pemikiran Sir Francis Galton dan sejumlah pemikir
lain yang mengembangkan telaah sidik jari.
Saya sependapat dengan komentar Nuruddin Asyhadie di FB
mengenai tulisan Sidik Jari, bahwa dengan apa yang Prof Sarlito lakukan
sekarang (keterlibatannya dalam riset psikologi dan psikologi kriminal), dan
reputasinya sebagai psikolog, kukira seharusnya Prof Sarlito tahu dengan baik
posisi wacana fingerprint atau dermatoglip dengan psikologi sejak penyelidikan
Galton, Bapak Psikometri, mengenai ras dan kecerdasan dengan fingerprint,
sampai penggunaan korelasi NGF (Nerve Growth Factor) dan EGF (Epidermal Growth
Factor) yang ditemukan oleh Rita Levi dan Dr. Stanley Cohen, yang membuat
keduanya meraih nobel.
Keprofesoran Sarlito seharusnya ditunjukkan dengan membuat
antitesis dari sejarah panjang tersebut. Itu baru kita bisa bicara ilmiah dan
tidak ilmiah. Tradisi semacam inilah yang perlu dikembangkan dalam psikologi di
Indonesia, sehingga komentar-komentar yang mengatasnamakan keilmiahan,
alih-alih ilmiah justru nampak genit dan reaktif. Perlu disadari juga bahwa
sebuah tulisan kritis, bukan berarti bisa mensterilkan dirinya dari kekritisan.
Ada sebuah kritikan menarik dari Karl Raimund Popper, tokoh
pospositivis, yang mengkritisi Vienna Circle dan cara berpikirnya. Popper
mengatakan bahwa, pengetahuan selayaknya bukan mempertahankan (memverifikasi)
yang sebelumnya sudah dianggap ilmiah, namun juga memfalsifikasi. Artinya,
suatu pengujian justru harus dilakukan untuk melihat kemungkinan apa yang
selama ini dipercayai benar ternyata mungkin saja salah, dan sebaliknya, yang
dianggap salah justru mungkin menjadi benar.
Popper mengambil perumpamaan, bahwa untuk menggugurkan tesis
bahwa semua angsa adalah putih, cukup diperlukan satu angsa hitam. Maka itu,
janganlah membuat pernyataan: ‘Tidak ada angsa berwarna hitam’, melainkan
‘Belum ada angsa berwarna hitam’. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan akan
selalu terbuka akan hal-hal baru dan bukan semata memertahankan hal-hal lama.
Saya merasa perlu menuliskan ini, selain memenuhi ajakan
menanggapi dari Ellen Kristi, juga karena melihat bahwa perdebatan mengenai
fingerprint ini, nampaknya sama sekali tidak ilmiah karena banyaknya orang yang
mendebat dengan model seperti Prof Sarlito, yaitu tanpa menguasai premisnya
dengan baik, dan bicara mengatasnamakan ilmiah tapi tidak ada argumen
ilmiahnya. Ini membuat, perdebatan mengenai fingerprint tidak pernah sampai ke
ranah ilmiah.
Silahkan anda kuasai dulu apa itu ilmiah, baru kita bicara
keilmiahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar