Powered By Blogger

Jumat, 06 Maret 2015

STIFIn Jay Tsunami, RESPON TERHADAP ARTIKEL PROF SARLITO WIRAWAN oleh FARID PONIMAN

Farid Poniman  18 April 2011



FARID PONIMAN
Saya sependapat dengan komentar Nuruddin Asyhadie di FB mengenai tulisan Sidik Jari, bahwa dengan apa yang Prof Sarlito lakukan sekarang (keterlibatannya dalam riset psikologi dan psikologi kriminal), dan reputasinya sebagai psikolog, kukira seharusnya Prof Sarlito tahu dengan baik posisi wacana fingerprint atau dermatoglip dengan psikologi sejak penyelidikan Galton, Bapak Psikometri, mengenai ras dan kecerdasan dengan fingerprint, sampai penggunaan korelasi NGF (Nerve Growth Factor) dan EGF (Epidermal Growth Factor) yang ditemukan oleh Rita Levi dan Dr. Stanley Cohen, yang membuat keduanya meraih nobel. fakultas psikologi melakukan bunuh diri jika mengakui finger print sbg alat psikologi. Terjadi "trade off", jk sdh mengakui finger print, maka ilmu2 behaviourism mesti dibakar. Shg mrk tdk perlu kurikulum sebanyak 4th+2th+2th itu lagi. Bs mendalami psikologi dg cara lain. Artinya, wajar fakultas psikologi, sbg fakultas tertua harus tetap survive dg caranya sendiri.

Keprofesoran Sarlito seharusnya ditunjukkan dengan membuat antitesis dari sejarah panjang tersebut. Itu baru kita bisa bicara ilmiah dan tidak ilmiah. Tradisi semacam inilah yang perlu dikembangkan dalam psikologi di Indonesia, sehingga komentar-komentar yang mengatasnamakan keilmiahan, alih-alih ilmiah justru nampak genit dan reaktif. Perlu disadari juga bahwa sebuah tulisan kritis, bukan berarti bisa mensterilkan dirinya dari kekritisan.

Ada sebuah kritikan menarik dari Karl Raimund Popper, tokoh pospositivis, yang mengkritisi Vienna Circle dan cara berpikirnya. Popper mengatakan bahwa, pengetahuan selayaknya bukan mempertahankan (memverifikasi) yang sebelumnya sudah dianggap ilmiah, namun juga memfalsifikasi. Artinya, suatu pengujian justru harus dilakukan untuk melihat kemungkinan apa yang selama ini dipercayai benar ternyata mungkin saja salah, dan sebaliknya, yang dianggap salah justru mungkin menjadi benar.

Popper mengambil perumpamaan, bahwa untuk menggugurkan tesis bahwa semua angsa adalah putih, cukup diperlukan satu angsa hitam. Maka itu, janganlah membuat pernyataan: ‘Tidak ada angsa berwarna hitam’, melainkan ‘Belum ada angsa berwarna hitam’. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan akan selalu terbuka akan hal-hal baru dan bukan semata memertahankan hal-hal lama.

Saya merasa perlu menuliskan ini, selain memenuhi ajakan menanggapi dari Ellen Kristi, juga karena melihat bahwa perdebatan mengenai fingerprint ini, nampaknya sama sekali tidak ilmiah karena banyaknya orang yang mendebat dengan model seperti Prof Sarlito, yaitu tanpa menguasai premisnya dengan baik, dan bicara mengatasnamakan ilmiah tapi tidak ada argumen ilmiahnya. Ini membuat, perdebatan mengenai fingerprint tidak pernah sampai ke ranah ilmiah.
Silahkan anda kuasai dulu apa itu ilmiah, baru kita bicara keilmiahan.


tulisan diatas keluar atau adanya tulisan dibawah ini..  silahkan disimak



By : Sarlito Wirawan Sarwono

Setelah kasus Otak Tengah, yang akhir-akhir ini sering ditanyakan kepada saya
adalah tentang Test Sidik Jari untuk mengetahui kepribadian anak.
Saya sendiri yang sudah 43 tahun malang-melintang di dunia psikologi, belum pernah tahu sebelumnya
tentang keberadaan test tersebut dan tidak mau ambil pusing. Paling-paling penipuan
lagi, pikir saya.

Tetapi beberapa hari yang lalu, anak saya yang kebetulan juga psikolog, berceritera
kepada saya bahwa dia diajak temannya (baca: dikejar-kejar) temannya untuk
bergabung dengan usaha dia dalam usaha test Sidik Jari. Lumayan, kata temannya
itu. Captive market-nya ibu-ibu yang punya anak kecil, dan sekolah-sekolah, dan
biayanya Rp 500.000,-per anak.

Sebagai psikolog professional anak saya meragukan validitas dan reliabilitas
(keabsahan dan kesahihan) test itu. Apalagi dengan job dan statusnya yang sudah
mapan dan gajinya yang sudah berlipat-lipat di atas UMR, dia tidak mau ambil risiko,
karena itu ia minta pendapat saya.

Saya langsung saja menyatakan bahwa saya pun tidak percaya, tetapi saya
penasaran. Maka saya pun browsing semua jurnal Psikologi (hampir seluruh dunia
yang berbahasa Inggris) yang bisa diakses oleh mesin searcher dari Asosiasi Psikologi
Amerika (APA) dimana saya menjadi salah satu anggotanya.
Hasilnya menakjubkan, sekitar 40.000 tulisan yang mengandung kata “finger print”.
Langsung saya cari judul-judul yang kira-kira terkait dengan sidik jari dalam
hubungannya dengan bakat, kepribadian, atau kecerdasan anak. Hasilnya: NIHIL!
Sedangkan kalau saya gunakan kata kunci Dermatoglyphic (Dermato artinya kulit,
Glyphs artinya ukiran, jadi kulit yang berukiran) ada satu keluaran, yaitu tulisan
berjudul “Neurodevelopmental Interactions Conferring Risk for Schizophrenia: A Study
of Dermatoglyphic Markers in Patients and Relatives”, oleh
Avila, Matthew T.; Sherr, Jay; Valentine, Leanne E.; Blaxton, Teresa A.; Thaker,
Gunvant K. dalam Schizophrenia Bulletin, Vol 29(3), 2003, halaman 595-605. Jadi
tulisan yang satu ini pun hanya tentang hubungan antara gejala sakit jiwa
skhizoprenia (yang dipercaya merupakan penyakit turunan) dengan pola sidik jari
(yang juga merupakan bawaan),

Sebaliknya, dari Google saya mendapat banyak sekali keluaran setelah memasukkan
kata kunci “sidik jari”. Bahkan ada website-nya sendiri. Hampir semuanya berceritera
tentang ke-ilmiahan metode analisis kepribadian dengan test Sidik Jari ini. Bahkan
ada iklan promo yang menawarkan test Sidik jari “hanya” untuk Rp 375.000 per anak.
Sisanya adalah testimoni dari orang-orang yang pernah mencoba test yang katanya
pelaksanaannya sangat mudah. Sedangkan salah satu kalimat promosi mereka adalah
bahwa “Analisa sidik jari memiliki tingkat akurasi lebih tinggi daripada metode
pengukuran lain. Klaim akurasi 87%”.

Luar biasa kalau test itu benar. Kalau seorang ibu sudah mengetahui seluruh “rahasia”
kepribadian anaknya melalui sidik jari anak, maka dia tinggal ongkang-ongkang kaki
dan dia hanya perlu mengatur anaknya sesuai dengan petunjuk hasil test Sidik Jari,
dan anaknya akan menjadi orang yang pandai, jujur, kreatif, berbakti pada orangtua,
beriman, bertakwa, saleh/salehah. Lebih senang lagi anggota Densus88. Tidak perlu
berpayah-payah lagi mereka. Cukup dengan memeriksa sidik jari, mereka bisa
mengidentifikasi pembom bunuh diri menangkapnya dan memasukkannya ke penjara.


Pandangan bahwa kepribadian ditentukan oleh fator bawaan (nativisme) sudah lama
ditinggalkan oleh Psikologi . Teori yang berlaku sekarang adalah bahwa kepribadian
ditentukan oleh pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Karena itu untuk
memeriksanya diperlukan proses yang panjang (metode psikodiagnostik, assessment)
dan duit yang lumayan banyak.
Karena itu saya tidak pernah menyarankan orang untuk ikut psikotes kalau hanya
untuk ingin tahu. Buang-buang duit. Tetapi lebih sia-sia lagi kalau buang duit untuk
tes Sidik Jari. Dr Budi Matindas, psikolog (UI) menerangkannya jauh lebih simpel:
sidik jari permanen dari lahir sampai mati. Jiwa/kepribadian berubah terus dari bayi
sampai tua. Bagaimana sesuatu yang berubah bisa berkorelasi dengan sesuatu yang
tidak pernah berubah?

Jakarta, 11 Mei 2011
Sarlito W. Sarwono Tulisan ini dimuat di Koran SINDO 15 Mei 2011. Atas permintaan
banyak pihak, saya muat ulang di sini.

*saya termasuk yg suka metode observasi, dibanding tes2an, krn keyakinan yg sama bhw manusia itu dinamis
 
Begitu banyak yang bisa ditemukan. Itu semua membuat saya makin tidak percaya bahwa Prof Sarlito benar-benar mencari jurnal atau penelitian terkait. Justru aneh kalau ada sebanyak itu jurnal, tapi seorang profesor tidak mampu menemukannya satu pun.

Ini pelajaran penting dalam membuat sebuah argumen ilmiah yang tidak banyak orang psikologi mampu melakukannya. Alasan-alasan semacam: tidak nemu jurnalnya, sudah kuno, sudah mulai ditinggalkan, dan sejenisnya, itu semua bukan sebuah argumen ilmiah. Membuat sebuah argumen ilmiah, carilah argumen yang diberikan oleh para teoritisi dermatoglyphic (fingerprint). Pelajari tesis-tesisnya, lalu buat antitesisnya. Teori vs teori. Data vs data. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan, khususnya psikologi dalam konteks ini, akan berkembang semakin luas dan bermanfaat.

Bukankah Prof Sarlito sendiri menulis: “…setelah memasukkan kata kunci “sidik jari”. Bahkan ada website-nya sendiri. Hampir semuanya berceritera tentang ke-ilmiahan metode analisis kepribadian dengan test Sidik Jari ini.” Kenapa sebagai seorang profesor anda tidak kutip saja salah satu tesis ilmiah mereka dan berikan antitesis ilmiahnya? Bukankah semestinya di situ keilmiahan seorang profesor ditunjukkan? Bukannya malah melantur kesana kemari mulai soal ibu-ibu yang ongkang-ongkang sampai soal Densus88.

Coba Prof Sarlito membaca model-model perdebatan ilmiah, misalnya perdebatan Sigmund Freud dan Carl Gustav Jung, perdebatan Paul Ricour dan Algirdas Greimas, dst. Mereka berdebat fokus pada masing-masing tesis, bukan kemana-mana. Premis-premis mereka pun jelas, bukan muncul dari dasar laut seperti tulisan Prof Sarlito ini:

Luar biasa kalau test itu benar. Kalau seorang ibu sudah mengetahui seluruh “rahasia” kepribadian anaknya melalui sidik jari anak, maka dia tinggal ongkang-ongkang kaki dan dia hanya perlu mengatur anaknya sesuai dengan petunjuk hasil test Sidik Jari, dan anaknya akan menjadi orang yang pandai, jujur, kreatif, berbakti pada orangtua, beriman, bertakwa, saleh/salehah. Lebih senang lagi anggota Densus88. Tidak perlu berpayah-payah lagi mereka. Cukup dengan memeriksa sidik jari, mereka bisa mengidentifikasi pembom bunuh diri menangkapnya dan memasukkannya ke penjara.

Di sini jelas bahwa premis utamanya saja Prof Sarlito tidak menguasai, kok berani-beraninya membuat kesimpulan? Apakah mengenali potensi anak sama dengan memastikan arah hidup si anak? Tentu saja ini hal yang berbeda. Ini logika mendasar tapi tidak dipahami Prof Sarlito.

Mengenali potensi anak, hanya berfungsi membantu anak untuk mengembangkan potensinya, sekaligus mengatasi kelemahannya. Dan dalam hal ini, fungsinya sama saja dengan semua bentuk lain dari tes dan diagnosa psikologi, yaitu sifatnya hanya membantu. Di luar apa yang telah dipetakan, kemungkinan-kemungkinan dalam kehidupan jelas masih ada.

Di sinilah perlunya memahami logika dasar bahwa tes Fingerprint, tujuannya adalah memetakan dan sama seperti ilmu pengetahuan lain, sebuah pemetaan atau prediksi saintifik hanya berlaku ketika memenuhi hukum ceteris paribus.
Ketidakpahaman Prof Sarlito mengenai ilmu pengetahuan dan logika, juga nampak pada kutipan berikut:

Fingerprint Test, Keilmiahan dan Tulisan ‘Sidik Jari’ Prof Sarlito

Oleh
Audifax
Bergiat di SMART HRPD, Forum Studi Kebudayaan (FSK) ITB dan Pustaka Kushala

Berdebat mengenai Fingerprint Test, sudah bukan hal baru lagi. Sudah sejak 2008 lalu, ketika saya dan Ratih Ibrahim memulai menggunakan alat ini untuk biro kami masing-masing, perdebatan sudah muncul. Argumen kontra umumnya mempersoalkan keilmiahan. Sebuah argumen yang sebenarnya umum dan sering digunakan bukan hanya dalam kasus Fingerprint, tapi juga hampir semua kasus yang berkaitan dengan ‘pemikiran baru’ atau ‘metode baru’.

Permasalahannya, kontra argumen yang mengatasnamakan keilmiahan itu sendiri sering dilontarkan secara tidak ilmiah. Salah satunya, yang kebetulan saya diminta menanggapi oleh Ellen Kristi, teman dari Semarang, adalah tulisan dari Profesor Sarlito berjudul ‘Sidik Jari’, yang di-share di Facebook dan dimuat di harian SINDO edisi 15 Mei 2011. Mengapa saya katakan argumen itu tidak ilmiah? Mari kita lihat satu demi satu.

Pertama soal klaim bahwa beliau telah melakukan pencarian jurnal dan tidak menemukan sama sekali. Klaim itu patut diragukan karena dengan mesin pencari Google saja bisa ditemukan banyak. Cuma ada dua kemungkinan, Prof Sarlito mencari di tempat yang memang tidak ada, atau klaim itu lebih merupakan dramatisasi padahal tidak dia lakukan dengan sungguh-sungguh. Apalagi dengan tambahan bahwa telah menemukan 40.000 dan tidak ada satupun yang berhubungan, dari situ saja sudah tidak ilmiah kalau ada orang bisa membaca 40.000 jurnal dalam tempo hanya beberapa hari.

Saya sendiri mencoba memverifikasi dengan menggunakan mesin pencari Google, dengan kata kunci: dermatoglyphic, intelligence dan setting hanya mencari file pdf. Ada ribuan thread muncul, dan banyak di antaranya jurnal. Saya berikan beberapa yang terata:

1. Association between Finger Patterns of Digit II and Intelligence Quotient Level in Adolescents. Mostaf Najafi, MD, (2009), Department of Psychiatry, Shahrekord University of Medical Sciences, Shahrekord, IR Iran. Link: http://journals.tums.ac.ir/upload_files/pdf/14053.pdf

2. Quantitative Dermatoglyphic Analysis in Persons with Superior Intelligence. M. Cezarik, dkk, 1996; link: http://www.collantropol.hr/_doc/Coll.%20Antropol.%2020%20%281996%29%202:%20413-418.pdf

3. Application and Development of Palmprint Research, Yunyu Zhou, dkk, (2001), link: http://ai.pku.edu.cn/aiwebsite/research.files/collected%20papers%20-%20palmprint/Application%20and%20development%20of%20palm%20print%20research.pdf

4. Analysis of dermatoglyphic signs for definition psychic functional state of human's organism, Anatoly Bikh,dkk; link: http://www.foibg.com/ibs_isc/ibs-07/IBS-07-p06.pdf

5. Determining The Association Between Dermatoglyphics And Schizophrenia By Using Fingerprint Asymmetry Measures; Jen-Feng Wang, dkk; link: http://www.eng.mu.edu/nagurka/Wang_Determining%20the%20Association_IJPRAI2203_P601.pdf

6. Quantifying the Dermatoglyphic Growth Patterns in Children through Adolescence; J.K. Schneider, Ph.D.; link: http://www.ncjrs.gov/pdffiles1/nij/grants/232746.pdf

Sebelum ini saya juga sudah memiliki sejumlah referensi dari jurnal, ini beberapa di antaranya:

CHINA SPORT SCIENCE AND TECHNOLOGY 1999-02
The Feasible Study on Identification of Children's Intelligent by Dermatoglyphic Pattern
Liu Hongzhen, Zhang Huaichun, Li Ziqin, Tang Xiaohui

Pasca Galton, nampaknya Dermatoglyphs semakin berkembang dan diyakini sebagai ilmu pengetahuan yang sahih, lengkap dengan buku-buku dan jurnal-jurnal “ilmiah” mereka sendiri. Kalau kita cari di Google, dengan kata kunci Dermatoglyphs akan keluar lebih dari 70.000 informasi, tetapi semuanya di luar komunitas ilmu psikologi. Dengan demikian Dermatoglyphs sebenarnya adalah pseudo science (ilmu semu) dari psikologi.

Saya semakin heran dengan keprofesoran Sarlito ketika membaca kalimat: “Kalau kita cari di Google, dengan kata kunci Dermatoglyphs akan keluar lebih dari 70.000 informasi, tetapi semuanya di luar komunitas ilmu psikologi. Dengan demikian Dermatoglyphs sebenarnya adalah pseudo science (ilmu semu) dari psikologi.” Jadi, kalau suatu ilmu berada di luar komunitas ilmu psikologi lalu disimpulkan sebagai pseudo-science dari psikologi? Wah, betapa arogan ‘komunitas’ macam itu. Dan, dari cara memverifikasi berdasarkan cara semacam itu saja Prof Sarlito sudah tidak ilmiah. Apa Prof Sarlito tidak menyadari bahwa banyak orang di luar komunitas psikologi mampu memelajari secara lebih mendalam soal psikologi ketimbang orang-orang dalam komunitas psikologi?

Sebagai profesor, semestinya Prof Sarlito menyadari bahwa pengujian suatu ilmu bukan berdasarkan suatu komunitas, melainkan dengan menguji bangunan ontologi, epistemologi dan aksiologi/metodologi-nya. Ini satu hal mendasar lagi yang tidak terlihat dari cara Prof Sarlito menuliskan mengenai Fingerprint.

Lalu ketika Prof Sarlito menuliskan:

“Tetapi ada satu hal yang tidak bisa dipenuhi oleh semua ilmu semu, yaitu tidak bisa diverifikasi teorinya.”

Saya sebenarnya penasaran, Prof Sarlito ini tahu apa enggak mengenai ‘verifikasi’. Dugaan saya, beliau tidak mengetahui alasannya. (Saya menantang siapapun juga yang membaca ini untuk menjelaskan alasan mengapa keilmiahan perlu ‘verifikasi’ dan verifikasi macam apa). Darimana saya menduga kalau beliau tidak tahu? Pertama dari tidak adanya alasan jelas mengapa harus ada verifikasi. Kedua, dari tulisan selanjutnya:

Dalam Astrologi, misalnya, tidak pernah bisa dibuktikan hubungan antara singa yang galak, dengan bintang Leo. Apalagi membuktikan manusia berbintang Leo dengan sifatnya yang galak (banyak juga cewek Leo yang jinak-jinak merpati, loh!).
Dalam hal ilmu Sidik Jari, sama saja. Tidak bisa diverifikasi bagaimana hububnannya antara sidik jari (bawaan) dengan sifat, minat, perilaku, apalagi jodoh dan karir, bahkan kesalehan seseorang yang merupakan hasil dari ratusan variable seperti faktor sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, lingkungan alam, dan sebagainya, walaupun juga termasuk sedikit faktor bawaan.

Prof Sarlito membaca dari literatur astrologi mana yang menyatakan manusia berbintang Leo sifatnya galak? Itu benar ada atau cuma kira-kira Prof Sarlito? Tidak jelas. Di sini kembali terlihat logika yang premisnya muncul dari dasar laut. Itu menunjukkan argumen itu disusun asal ngomong, bukan karena benar-benar tahu apa yang diomongkan.
Dan penilaian Prof Sarlito disini pun seolah dia sterilkan dari verifikasi. Bagaimana memverifikasi bahwa memang belum pernah ada penelitian yang mengkaji hubungan astrologi dan kepribadian? Ini saya buktikan kalau logika Prof Sarlito muncul dari dasar laut. Ternyata ada kok peneliti dari University of Georgia, yang meneliti hubungan antara astrologi dengan personality traits dan menemukan hubungannya:

Hyokjin Kwak; Astrology: Its Influence On Consumers' Buying Patterns And Consumers' Evaluations Of Products And Services, link: http://www.terry.uga.edu/~ajaju/papers/AMS2000.pdf

Begitu juga komentar Prof Sarlito mengenai Sidik Jari dalam kutipan di atas, tidak bisa diverifikasi darimana asalnya. Bahkan, terlihat bahwa Prof Sarlito tidak menguasai dengan benar premis yang mendasari, walau dalam tulisannya mengutip pemikiran Sir Francis Galton dan sejumlah pemikir lain yang mengembangkan telaah sidik jari.

Saya sependapat dengan komentar Nuruddin Asyhadie di FB mengenai tulisan Sidik Jari, bahwa dengan apa yang Prof Sarlito lakukan sekarang (keterlibatannya dalam riset psikologi dan psikologi kriminal), dan reputasinya sebagai psikolog, kukira seharusnya Prof Sarlito tahu dengan baik posisi wacana fingerprint atau dermatoglip dengan psikologi sejak penyelidikan Galton, Bapak Psikometri, mengenai ras dan kecerdasan dengan fingerprint, sampai penggunaan korelasi NGF (Nerve Growth Factor) dan EGF (Epidermal Growth Factor) yang ditemukan oleh Rita Levi dan Dr. Stanley Cohen, yang membuat keduanya meraih nobel.

Keprofesoran Sarlito seharusnya ditunjukkan dengan membuat antitesis dari sejarah panjang tersebut. Itu baru kita bisa bicara ilmiah dan tidak ilmiah. Tradisi semacam inilah yang perlu dikembangkan dalam psikologi di Indonesia, sehingga komentar-komentar yang mengatasnamakan keilmiahan, alih-alih ilmiah justru nampak genit dan reaktif. Perlu disadari juga bahwa sebuah tulisan kritis, bukan berarti bisa mensterilkan dirinya dari kekritisan.

Ada sebuah kritikan menarik dari Karl Raimund Popper, tokoh pospositivis, yang mengkritisi Vienna Circle dan cara berpikirnya. Popper mengatakan bahwa, pengetahuan selayaknya bukan mempertahankan (memverifikasi) yang sebelumnya sudah dianggap ilmiah, namun juga memfalsifikasi. Artinya, suatu pengujian justru harus dilakukan untuk melihat kemungkinan apa yang selama ini dipercayai benar ternyata mungkin saja salah, dan sebaliknya, yang dianggap salah justru mungkin menjadi benar.

Popper mengambil perumpamaan, bahwa untuk menggugurkan tesis bahwa semua angsa adalah putih, cukup diperlukan satu angsa hitam. Maka itu, janganlah membuat pernyataan: ‘Tidak ada angsa berwarna hitam’, melainkan ‘Belum ada angsa berwarna hitam’. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan akan selalu terbuka akan hal-hal baru dan bukan semata memertahankan hal-hal lama.

Saya merasa perlu menuliskan ini, selain memenuhi ajakan menanggapi dari Ellen Kristi, juga karena melihat bahwa perdebatan mengenai fingerprint ini, nampaknya sama sekali tidak ilmiah karena banyaknya orang yang mendebat dengan model seperti Prof Sarlito, yaitu tanpa menguasai premisnya dengan baik, dan bicara mengatasnamakan ilmiah tapi tidak ada argumen ilmiahnya. Ini membuat, perdebatan mengenai fingerprint tidak pernah sampai ke ranah ilmiah.
Silahkan anda kuasai dulu apa itu ilmiah, baru kita bicara keilmiahan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar